Skip to main content

CANTIK MUNAFIK


Jakarta memang keras. Ya, memang kalimat itulah yang pantas menggambarkan kota yang penuh dengan kerusuhan, kecaman, dan kebebasannya dalam melakukan segala sesuatu yang diinginkan sesuka hati dan harus terpenuhi. “Hidup di Jakarta gak mudah, bro...” Kalimat itu juga sering aku dengar dimana-mana, membuatku menyadari akan diriku yang juga merasakan hal yang sama dengan ucapan itu.
            “Nayla!” Teriak seorang perempuan yang berada dihadapanku dan membuyarkan lamunanku. “Iya!” Jawabku kaget.
            “Kamu sudah ditunggu dari tadi oleh Pak Baroto.Cepat temui dia sekarang!”
            “Baik, Madam. Maaf saya tidak tahu. Saya kira tadi Jenny yang masuk.” Ku lihat raut wajah Madam Lastri agak sedikit marah.
            “Jenny sudah pergi dengan pria yang tadi sudah mem-bookingnya. Ayo cepat, Nayla! Kamu tidak ingin mengecewakan pelanggan kan? Temui Pak Baroto di room 31.”
            “Iya Madam, saya akan kesana sekarang. Permisi.”
            Aku pun pergi meninggalkan Madam Lastri dan segera menuju ke room 31 yang disana sudah ada pelangganku yang sedang menunggu pelayananku.
            “Maaf Pak saya terlambat, tadi ke toilet dulu.” Senyumku.
            “Jangan panggil Pak dong, panggil aja Mas. Siapa namamu cantik?” Tanya pria yang perawakannya seperti seorang anggota angkatan.
            “Iya deh... Nama saya Nayla, Mas Baroto.” Godaku agak maksa.
            “Nah gitu dong, kan dengernya enak sayang... Sini dong deketan sama Mas, jangan jauh-jauh gitu. Kita nyanyi dan joget bareng, pokoknya kita happy-happy malam ini. Hahaha...” Aku pun harus menuruti apa yang dimau oleh  pria ini, jika tidak, bisa mampus aku dilaporin ke Madam Lastri.
            Akhirnya, selesai kami berkaraoke bersama, Pak Baroto mengajakku pergi ke apartemennya. Tapi, aku menolaknya dan pamit untuk pulang karena aku belum mengerjakan tugas kuliah yang dikumpulkan besok pagi. Saat kami berjalan menuju parkiran, tiba-tiba ada seorang pria muda yang memanggil namaku dari arah belakang.
            “Nayla!” Pria ini melambaikan tangannya padaku. Ku lihat dengan seksama dan ternyata pria atau cowo ini adalah teman kuliahku, Dika. “Bisa mampus reputasi gue kalau Dika tau gue lagi jalan sama cowo yang lebih tua dari gue. Apalagi kalau sampai dia ngasih tau hal ini ke Adam.” Seruku dalam hati.
            Aku pun langsung berpamitan dengan Pak Baroto dan berjalan menjauhinya agar tidak dicurigai oleh Dika. Dika dengan cepatnya langsung menghampiriku.
            “Nay, kamu ngapain disini malem-malem gini?” Tanya Dika heran.
            “Emh, anu. Emh, itu. Aku tadi diajakin karaoke sama temenku, terus aku ditinggal gitu aja.” Jawabku tersendat-sendat.
            “Temenmu yang barusan masuk mobil itu? Kok kayak Om-Om gitu sih penampilannya? Kamu jalan sama dia, Nay?”
            “Eh, ya engga lah Dik, yang bener aja. Masak iya aku jalan sama Om-Om? Kan aku udah punya Adam.”
            “Iya-iya, percaya, situ pacaran sama sepupu gue. Padahal kan yang naksir duluan gue. Hahaha,” Goda Dika.
            “Salah sendiri wekk. Yaudah, yuk pulang!”
            “Mau aku anterin?”
            “Gak usah Dik, aku pulang naik taksi aja. Entar dimarahin Adam kamu, nebengin cewe orang pulang.”
            “Ngeledek nih? Okay deh, ati-ati ya, cantik...” Dika pun melambaikan tangannya dan segera pergi. “Huft, hampir aja gue ketahuan.” Cepat-cepat aku memanggil taksi yang lewat di depanku dan pulang ke kos secepatnya.
            Kenalin, namaku Nayla Julia. Aku seorang mahasiswi di salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta. Aku baru hijrah di Jakarta dua tahun yang lalu. Jadi, sekarang ini aku kos tidak jauh dari kampusku. Hidupku disini pas-pasan, aku harus bekerja mati-matian untuk mendapatkan biaya keperluan hidupku sehari-hari. Ayahku sudah meninggal sejak aku duduk di bangku SMP, jadi segala kebutuhan semuanya ditanggung oleh Ibu. Upah Ibu bekerja juga tidak sebanding dengan pengeluaran yang kami butuhkan. Maka dari itu, aku bekerja part-time menjadi kasir di sebuah minimarket dan menjadi guide di sebuah tempat karaoke.
Sebenarnya aku juga tidak ingin bekerja seperti itu, tapi bagaimana lagi? Biaya hidup di Jakarta memang begitu besar. Toh, kalau cuma nemenin dan ngajak ngobrol aja sih gak masalah, yang penting aku gak kebablasan. Tapi, terkadang memang ada pelanggan yang suka kelewatan sih, seperti menggerayangi tubuhku atau pun minta berciuman, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang mereka lakukan karena jika keinginan mereka gak diturutin, mereka bakal ngelaporin keluhan mereka ke Madam Lastri, bos agen cewe-cewe pekerja malam di tempat itu dan dia akan marah nantinya. Dan yang artinya jika Madam Lastri marah, aku tidak akan mendapatkan bonus tips darinya ataupun dari para pelanggan-pelanggan yang ku temani. Tetapi saat mereka mengajakku “nganu”, aku selalu menolaknya karena hanya itulah harta yang paing aku lindungi dan aku jaga. Aku memberikan alasan pada mereka jika aku masih anak baru dan menawarkan teman-temanku yang lebih berpengalaman dalam hal tersebut. Mereka pun juga mau-mau saja tanpa ada rasa ingin marah padaku.
Aku juga punya pacar, namanya Adam. Adam juga kuliah satu kampus denganku dan sepupunya yang tadi, Dika. Mereka memang bersaing mendapatku dan ternyata Adam lah yang menang. Tetapi, Dika masih sering menggodaku dan aku pun menganggapnya hanya sebagai Abangku.
Ibuku, Adam, Dika, atau teman-temanku yang lain tidak ada yang tahu tentang perkerjaan malamku yang sangat buruk itu. Bahkan jika mereka tau, mereka pasti sudah membenciku. Mereka hanya tau aku bekerja sebagai kasir. Aku memang tidak menceritakan hal ini pada siapapun, terutama Ibuku dan Adam. Aku tidak ingin mereka kecewa akan apa yang telah ku lakukan. Tapi, aku telah memilih jalanku karena suatu alasan yang pasti orang bisa menjawabnya, apalagi yang sama-sama seorang perantau sepertiku.
   ₰₰₰₰₰₰
            “Sayang, kamu kok lesu? Belum makan?” Tanya Adam penuh perhatian.
            “Iya sayang, aku ngantuk banget. Kurang tidur kayaknya.” Jawabku dengan mata yang sayu-sayu.
            “Yaudah yuk, aku anterin kamu pulang biar kamu istirahat. Nanti gak usah kerja dulu aja, minta izin.” Pinta Adam.
            “Wohooo! Ada yang lagi berduaan nih?” Seru Dika yang datang tiba-tiba.
            “Ngapain loe kesini?” Adam langsung memasang muka sinis.
            “Santai bro, jangan marah-marah dong... Eh Nay, kenapa loe?”
            “Loyo, Dik. Gue kayaknya kecapekan deh.” Jawabnya makin lesu.
            “Aaa, ini kayaknya loe masuk angin deh, Nay? Karena loe pulang kemaleman semalem.”
            “Pulang malem? Kamu habis jalan sama Dika?” Adam makin sinis.
            “Enggak sayang, enggak. Jadi gini loh, tadi malem itu...”
            “Tadi malem aku ketemu Nayla di jalan lagi nungguin taksi, dia bilang habis kerja kelompok. Gue udah nawarin buat nebengin dia pulang, tapi dia nolak. Karena dia inget sama loe.”
            “Kamu kok ga bilang kalau kamu pergi kerja kelompok?”
            “Aku udah telepon kamu tapi kamu ga angkat. Terus hapeku lowbat. Jadi, ya maaf sayang.” Aku bener-bener takut Adam ngira aku jalan sama si resek Dika itu. Kalau dia marah, aduh... Berabe serius. “Kamu marah?” Adam terlihat diam aja.
            “Gak usah loe marahin dia. Tuh kasihan, mending loe anterin pulang sekarang sebelum dia pingsan disini.” Saran Dika.
            “Bener kata Dika. Ayo, aku anter kamu pulang. Kita duluan ya, Dik!”
            “Yoi!”
            Adam menarik tanganku dan pergi meninggalkan Dika. Dia pun hanya diam saja dari tadi kayak orang lagi ngambek. “Duh, pasti ini Adam marah.” Benakku dalam hati.
            Adam menancapkan gas mobilnya dengan kencang. Dia tidak membuka obrolan sedikit pun. Membuatku menjadi penasaran, apa yang dipikirkannya.
            Sesampainya di tempat kos, Adam juga masih saja diam. Mungkin emang dia benar-benar marah dan mikir yang enggak-enggak tentang aku dan Dika. Aku pun turun dari mobilnya, Adam langsung melaju pergi begitu saja meninggalkanku tanpa mengucapkan pamit. “Huh, Adam kok gitu banget sih?!” Gerutuku dalam hati. Aku pun berjalan menuju kamar kosku, membuka pintu, dan langsung menjatuhkan badanku di atas kasur yang sudah aku rindukan ini. Aku merenggangkan badanku dan bergulung-gulung kesana-kemari menikmati kenyamanan yang diberi oleh kasur. Seketika, aku pun tertidur lelap.
            Dddrrrttt... dddrrrttt... dddrrrttt...
            “Halo sayang...” Suara Adam terdengar dari seberang telepon sana.
            “Iya sayang, ada apa?” Jawabku kantuk.
            “Kamu lagi dimana? Masih sakit?” Tanya Adam penasaran.
            “Aku di kos ini, tiduran aja. Udah enggak sih, emangnya kenapa?”
            “Aku mau ngajak kamu jalan. Bentar lagi aku jemput, kamu siap-siap ya,”
            “Mau kemana emang?”
            “Udah, kamu siap-siap aja sayang.”
            Aku pun keheranan. Sebenarnya apa sih maunya Adam? Tadi kelihatan marah, sekarang mau ngajakin aku jalan. Ketimbang aku makin kepo, aku pun akhirnya langsung bergegas mandi.
            Adam sudah mengirimkan pesan padaku untuk segera keluar ke depan kos. Aku berjalan menuju keluar dan ku lihat Adam yang sudah siap menungguku di luar mobilnya. Ku lihat sosok pria yang agak bad boy ini memang sedikit susah ditebak. Tapi bagaimana pun juga dia adalah pria yang begitu aku cintai. Aku pun pernah berkata pada diri sendiri jika aku akan rela melakukan apa saja untuk Adam. Entah mengapa aku begitu cinta mati padanya. Dan dari situ juga, aku selalu menolak ajakan para pelangganku jika mereka mengajakku untuk “nganu”, karena aku selalu teringat Adam dan bagiku hanya Adam lah yang boleh mendapatkannya.
            Kami pun berangkat menuju tempat yang belum tau aku akan dibawa kemana oleh Adam. Sepertinya dia akan memberi surprise untukku. Ya, semoga saja kejutannya menyenangkan.
            “Ini mau kemana sih? Kok mataku pakai ditutupin segala?” Batinku dalam hati.
            Mataku ditutup kain hitam oleh Adam dan dia menuntunku perlahan menuju ke tempat tujuan. Aku merasakan angin semilir merasuk ke dalam tubuhku perlahan seakan kami sedang berada di tempat yang terbuka yang entah itu outdoor cafe  atau taman.
            “Sudah siap?” Tanya Adam padaku.
            “I’m ready.” Jawabku dengan rasa penasaran akan apa kejutan yang akan diberikan oleh Adam. Adam membuka kain hitam yang menutup mataku dan, “Wow... Indah banget...” Aku terpana melihat keindahan malam di sebuah bukit entah dimana aku belum pernah datang kesini sebelumnya.
            “Kamu suka?”
            “Indah banget sayang... Belum pernah aku lihat pemandangan malam yang seindah ini. Tempat apa ini sayang?” Tanyaku penasaran.
            “Ini bukit belakang sekolahku dulu. Aku sering ke tempat ini kalau lagi pingin sendiri. Tempat ini menjadi tempat rahasiaku. Aku ngajak kamu kesini karena aku ingin minta maaf sama kamu, sayang.”
            “Minta maaf?”
            “Aku tau kamu pasti ngira aku tadi marah sama kamu karena aku diemin kamu. Tapi aku ga bermaksud gitu. Aku hanya berpikir, kenapa disaat kamu sedang kesusahan malah Dika yang datang membantumu, bukan aku. Aku ini memang cowo yang gak guna!”
            “Sayang, stop! Jangan bilang gitu! Kamu itu udah cukup banyak membantuku. Kamu selalu ada buat aku. Perhatianmu, kasih sayangmu, itu semua sudah cukup membuatku merasa nyaman dan bahagia. Please, kamu jangan bilang kalau kamu itu gak ada gunanya. Dika datang itu juga cuma kebetulan, sayang. Aku pun hanya menganggap Dika sebagai Abangku saja. Aku cintanya cuma sama kamu.”
            Tiba-tiba, Adam langsung memelukku dengan erat. Aku merasakan hangatnya suhu tubuh Adam yang membuatku tak ingin melepaskannya.  Tangan Adam berpindah menyentuh bagian belakang leherku perlahan. Wajahnya sangat dekat sekali dengan wajahku. Akhirnya, bibir kami saling bertemu. Bibir yang begitu empuk dan lembut. Lidah kami saling berdansa. Ugh, sungguh ku tak pernah merasa yang senyaman ini bila dengan Adam.
            Adam makin menciumku dengan nafsu yang tak terkontrol. Perlahan tangan Adam mulai membuka kancing bajuku dan mendaratkannya tepat pada payudaraku. Dia meremasnya dengan kuat lalu mendekapku makin erat. Aku pun sedikit jinjit, melingkarkan tanganku pada lehernya, dan tanpa sadar aku pun mendesah perlahan. “Akankah Adam akan melakukan hal itu padaku sekarang?” Dalam hati aku bertanya.
            “Nay, I love you so much.” Bisik Adam pelan di telingaku. Nafasnya yang hangat membuatku merasa melayang dibuainya.
            “I love you more, honey... I’ll give you everything I have.”
            “I’m yours.”
   ₰₰₰₰₰
            “Woy, Nay! Ngelamunin apaan loe?! Ciyeee, pasti habis gitu-gitu ya sama Adam?” Dika tiba-tiba datang mengejutkanku sambil menepuk pundakku.
            “Hih, resek deh! Mau tau aja sih?! Gitu-gitu apaan? Jangan aneh-aneh!” Timpalku sebal.
            “Ah, gak usah boong Nay. Kayak aku gak tau aja kamu habis ngapain sama Adam, kan Adam sepupu aku, jadi kalau ada apa-apa dia ceritanya ya ke aku lah wekk...” Ledek Dika yang membuatku makin geram. “Kalian habis...”
            “Habis apa?! Adam cerita apa sama kamu?!”
            “RAHASIA! HAHAHA,” Teriak Dika berlari meninggalkanku.
            Iya, memang aku lagi ngelamunin kejadian yang bagiku itu adalah surga dunia yang telah aku dan Adam lakukan . Layaknya lirik sebuah lagu, “Ingin ku ulangi dosa yang terindah yang pernah aku lakukan.” Dan itu memang benar apa adanya. Tapi, kenapa tadi Dika bilang kalau Adam cerita ke dia? Apa benar Adam menceritakan kejadian kemarin ke Dika? Kok dia gak ngerahasiain hal itu sih? Kan aku pasti juga sangat malu apalagi tadi Dika sudah mengejekku seperti itu. Tapi, pasti si resek Dika itu bohong, dia pasti cuma pingin ngegodain aku aja. Ish, dasar.
    ₰₰₰₰₰
            “Kok aku belum mens juga ya?” Sudah satu bulan ini sejak kejadian “nganu”ku dengan Adam, aku belum datang bulan sama sekali. Aku sudah telat dua minggu dari jadwalku biasanya. Apa jangan-jangan aku... Ah, gak mungkin. Tapi... Aku harus cek.
            Aku pun langsung pergi ke apotek untuk membeli test pack. Mbak-mbak penjaga apotek seakan bertanya-tanya untuk apa aku membeli alat itu. Tidak pikir panjang, aku pun langsung mencobanya di toilet apotek itu. Rasa penasaran telah menyelimuti pikiranku. Secepatnya aku menggunakan alat itu, dan hasilnya... Dua tanda setrip merah terpampang jelas membuatku kaget tak percaya. “What?! Aku hamil?!” Apa yang harus aku katakan pada Ibuku jika beliau tahu anaknya sudah tidak perawan lagi? Apa juga yang harus aku katakan pada Adam? Apakah dia akan menerimanya atau malah menyuruhku untuk menggugurkannya? Dan jika semua orang-orang sampai tahu perutku membesar... Nayla, so stupid you are!
            Oke, pertama aku harus memberitahukan hal ini pada Adam. Adam harus bertanggung jawab. Kedua, Ibuku. Aku akan mengakui semuanya pada Ibuku agar dia juga tidak terlalu kecewa. Bergegas aku menyimpan hasil test pack tadi ke dalam tasku, pergi meninggalkan apotek, dan ingin mengajak Adam untuk bertemu. Ketika aku baru membuka hapeku, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Pak Baroto yang waktu itu pernah ku layani. Oh iya, aku baru ingat jika aku sudah ada janji dengannya hari ini. Ya, empat hari yang lalu pak Baroto menelponku dan memintaku untuk menemaninya pergi belanja. Aku terlupa sesaat. Ku angkat telepon darinya lalu menyuruhnya menjemputku di perempatan sebarang apotek tadi.
            Tidak lama, terlihat mobil sedan hitam berhenti di hadapanku. Orang yang berada di dalamnya segera menurunkan kaca mobilnya dan ternyata dia adalah Pak Baroto. Pak Baroto menyuruhku masuk dan kami pun langsung pergi menuju mall yang akan kami kunjungi.
            Sudah hampir 3 jam aku berkeliling mengitari mall besar ini. Aku sudah mulai bosan dan ingin segera pulang. Eh, tapi aku kan belum memberitahukan hal yang tadi pada Adam hmm. Tiba-tiba, Pak Baroto bilang ingin pergi ke toilet sebentar. Aku pun langsung duduk menuggunya di depan sebuah outlet sepatu. Aku menarik nafas panjang, merenggangkan kakiku yang sudah capek berkeliling, dan melihat orang-orang di sekitar. Tak lama kemudian, pria berperawakan angkatan itu keluar dan mengajakku pulang. Mungkin karena dia sudah tahu aku kelelahan. Baru saja ingin melangkah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang pemuda yang memanggilku dan suaranya tidak asing bagiku.
            “Nayla?! Kamu lagi jalan sama siapa itu?” Ternyata pemuda itu adalah Dika.
            “Dika? Emh, anu. Itu Omku, aku lagi jalan sama Omku dan Tanteku yang sekarang masih di toilet.” Jawabku gelagapan.
            “Kamu jangan bohong, Nay.” Dika masih curiga padaku. Duh, mampus gue.
            “ Dia siapa Nay?” tanya Pak Baroto.
            “Dia teman kuliahku, namanya Dika.”
            “Oh, kenalin anak muda. Saya Baroto, cliennya Nayla.”
            “Clien? Nay? Apa yang sebenernya loe...”
            “Dika, aku bisa jelasin semuanya tapi gak disini. Pak Baroto, aku pamit dulu ya, mau ada urusan dengan Dika.”
Aku pun langsung menarik tangan Dika dan menggeretnya pergi meninggalkan Pak Baroto. Aku menyuruh Dika untuk mengantarkanku pulang, tapi Dika malah ingin membawaku pergi ke rumahnya. Akhirnya aku menyetujuinya sekalian aku akan menjelaskan semuanya ke Dika. Terbongkar sudah rahasiaku, duh.
            Sesampainya di rumah Dika, Dika menyuruhku untuk duduk dan menatapku dengan raut wajah yang penuh curiga.
“Jadi gini, aku punya job lain yaitu jadi guide di tempat karaoke. Tugasku cuma nemenin dan ngajak ngobrol aja, gak lebih. Aku juga tetap jadi kasir di minimarket biasanya, cuma memang karena aku butuh duit lebih untuk bayar kos, bayar uang kuliah, beli makan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, jadi aku milih job yang aku tahu itu pasti dinilai gak baik. Kalian memang gak pernah tahu tentang jobku yang satu ini karena memang aku tidak ingin memberitahukannya pada siapapun. Aku berjuang hidup disini Dik, aku harus benar-benar mandiri, tidak selalu mengandalkan uang kiriman dari Ibuku. Toh, aku juga masih punya satu adik yang masih sekolah dan sama-sama membutuhkan biaya banyak. Aku tahu ini salah, tapi tolong jangan judge aku yang bukan-bukan. Aku gak seperti yang kamu bayangkan, Dika.” Tuturku menjelaskan alasanku pada Dika dengan gemetaran.
            “Nay, tapi loe udah nyakitin Ibu loe dan Adam. Kenapa loe harus milih job yang kayak gitu? Kenapa gak yang lain aja?”
            “Iya-iya, aku tahu aku salah. Tapi, kamu gak pernah ngerti Dika. Hanya pekerjaan itu yang bisa menghasilkan uang banyak dalam sekejap mata. Tolong, jangan kamu aduin ini pada Ibuku dan Adam. Tolong, Dika... Aku mohon. Aku bakal ngelakuin apa aja buat kamu tapi tolong jangan kamu aduin. Please...” Pintaku pada Dika dengan raut wajahku yang sudah memelas.
            “Loe yakin bakal ngelakuin apa aja buat gue?” Tanya Dika masih tak percaya.
            “Iya, gue janji. Loe mau apa?”
            “Gue mau...”
            “Bentar, aku pingin ke toilet.”
            “Tuh diujung kanan.”
            Braaakk! Ku tutup pintu toilet agak keras. “Bodoh! Loe bodoh, Nay! Kenapa loe bisa keceplosan ngomong kayak gitu tadi ke Dika?! Apa yang harus gue lakuin sekarang?! Aku gak pingin Ibuku dan Adam tahu akan kelakuanku yang seperti tadi. Satu-satunya jalan emang aku harus nurutin apa yang Dika mau sesuai ucapanku tadi.” Aku menggerutu dalam hati dengan sedikit menyeseal.
            Di luar, Dika duduk menungguku lalu mengambil hapenya yang bersebelahan dengan tasku. Buuukk... Tasku jatuh dari atas meja karena terseggol tangan Dika dan  menghamburkan barang-barang yang ada di dalamnya. Dika langsung memungutinya satu per satu, dan Dika melihat satu barang yang menurutnya tidak asing. Ya, test pack yang aku simpan di dalam tas tadi. Dika melihat hasil dari test pack tersebut dan seketika raut wajahnya berubah seperti keheranan.
            “Oke, tadi kamu minta apa ke aku?” Aku meneruskan percakapan yang sempat terpotong tadi.
            “Tunggu. Ini apa Nay? Loe hamil? Hamil anak Om-Om tadi?” Tanya Dika dengan sinis.
            “Dik, please! Stop nuduh gue yang enggak-enggak! Iya, gue emang hamil. Hamil anaknya Adam. Gue pernah ngelakuin gituan sama Adam, tapi gak pernah sama cowo lain. Cuma Adam cowo satu-satunya yang sudah berhasil melewati lubang suciku karena aku juga pernah bilang kalau aku akan memberikan segalanya ke dia walaupun itu termasuk keperawananku.”
            “Loe ternyata munafik banget, Nay. Gue gak nyangka bisa kenal cewe cantik yang munafiknya ngelebihin pecun-pecun asli. Loe jalan sama Om-Om, main bareng mereka, dan loe ga ngaku waktu gue nanyain itu ke loe. Dan, gue juga yang naksir loe duluan, gue yang selalu ada dan ngebantuin loe, tapi loe malah milih Adam dan segampang itu ngasihin mahtoka loe ke dia? Ini ga adil, Nay.”
            “Gue gak semunafik yang loe kira. Semua itu ada alasannya dan gue udah jelasin di awal tadi. Loe masih mau nuduh gue yang aneh-aneh terus? Dika, tolong ngertiin gue.”
            “Fine. Loe tadi udah janji ke gue bakal ngelakuin apa aja yang gue mau, iya kan?”
            “Iya, gue kan udah janji.”
Dika tersenyum licik seperti memikirkan rencana jahat di pikirannya. “Ini kesempatan gue buat dapetin Nayla seutuhnya.” Batin Dika.
            “Buka baju loe, Nay. Kasih lihat ke gue bentuk payudara loe yang indah itu.”
            “Apa? Enggak! Gue gamau!” Tersentak kaget aku mendengar permintaan Dika.
            “Loe udah janji sama gue dan loe harus lakuin itu.” Dika menggeretakku.
            Perlahan aku membuka kancing kemejaku dan menarik braku turun tanpa harus membukanya. Dika yang terpana akan payudaraku lalu menjulurkan kedua tangannya dan memeras payudaraku dengan senangnya.
            Gak pernah gue ngelihat payudara yang seindah, semontok, dan sekenyal ini. Porsinya memang cukup untuk menggairahkan hasrat lelaki. Beruntung banget si Adam udah mencicipi dan mengkenyot dua buah semangka yang bergelantungan ini. Shrpt... Ah, gak sabar gue pingin nyusu pada induk susu ini.” Terlihat Dika yang sudah bernafus besar ingin segera menelanjangiku. Sialan Dika.
            “Stop, Dik!” Aku langsung menutup braku kembali. “Cukup! Jangan loe terusin lagi. Gue gak mau.”
            “Kenapa? Loe takut?”
            “Aku ini pacarnya sepupumu. Jangan kamu berani macam-macam padaku. Atau enggak...”
            “Loe udah janji mau ngelakuin apa aja yang gue suruh, kalau loe gak nurut, gue bakal ngaduin rahasia loe semuanya ke Adam. Sekarang perlihatin bokongmu yang semok itu.” Dika memasang senyum mupengnya.
            Cih, Dika benar-benar licik. Dia mengambil kesempatan ini agar bisa seenaknya membuatku menjadi budak seksnya. Seketika, Dika mendekapku dari belakang. Aku meronta melepaskan dekapannya tetapi tidak bisa karena terlalu kuat. Dika menciumi leherku dengan nafasnya perlahan yang membuatku tak sanggup berbuat apa-apa. Tiba-tiba, terdengar suara pintu depan terbuka dan seperti ada seseorang yang berjalan masuk ke dalam. Lalu...
            “Dika?! Nayla?! Apa yang kalian lakuin?!” Aku mendengar suara yang sangat tidak asing lagi bagiku, yaitu suara Adam.
            “Bro, calm bro... Gue bisa jelasin semuanya ke loe.” Dika menjawabnya agak panik.
            “Adam? Ini gak seperti yang kamu bayangin. Kasih aku waktu buat jelasin ke kamu...” Aku pun gemetaran menjawab pertanyaan Adam dan begitu takut menatap matanya. Adam pasti benar-benar marah dan murka.
            “Biadab kalian berdua! Jadi ini yang sering kalian lakuin di belakang gue? Kalian ngekhianatin gue? Gue bener-bener gak nyangka sama kelakuan murahan kalian berdua! Picik!” Seru Adam yang benar-benar sangat murka padaku dan Dika.
            “Gak gitu sayang, aku dijebak Dika.”
            “Stop manggil gue sayang! Loe bukan pacar gue. Loe itu cewe murahan yang pernah gue kenal. Dan loe juga Dik, loe sepupuku gue yang paling brengsek!” Jawab Adam dan ku lihat tangannya mengambil sebuah cutter yang kebetulan ada di atas di meja.
            “Woi, calm bro. Gue bisa jelasin. Gue...”
            “Dika, awasss!” Bruuukk... Aku mendorong Dika hingga jatuh, tetapi cutter yang dibawa Adam sudah terhunus tepat di perutku. Darahnya keluar sangat banyak, aku pun langsung jatuh terkulai tak berdaya ke lantai.
            Aku mencabut cutter itu dari perutku dan melemparkannya. Tanganku berlumuran darah yang warnanya merah pekat. Nafasku sudah terengah-engah seperti aku tidak akan bertahan lama lagi. Aku pun terbatuk-batuk dan merintih kesakitan. “Dik, Dik, Dika, kamu... gapapa kan...?” Aku memanggil Dika terbata-bata.
            “Nayla! Nayla, apa yang udah loe lakuin? Kenapa gak loe biarin Adam ngebunuh gue? Maafin gue, Nay. Maafin gue... Jangan pergi Nay, please, jangan pergi... Gue gak mau kehilangan loe, Nay. Gue pingin loe tetep hidup bareng gue, Adam, dan calon keponakan gue yang ada di dalam perut loe ini.” Dika menangis sesenggukan sambil menggenggam tanganku yang penuh darah akan dosa yang udah aku perbuat selama ini.
            “Dika... Aku... titip Adam sama kamu, ya... Tolong... Kamu cariin dia... cewe yang bener-bener baik dan... gak pernah... bohong... sama dia... Aku sayang... kalian berdua... Terimakasih...” Aku menutup mataku untuk terakhir kalinya. Hanya senyum yang bisa ku perlihatkan pada Adam dan Dika sebagai tanda perpisahan terakhir. Aku pergi meninggalkan dunia ini. Dunia yang penuh lumuran dosa layaknya orang-orang sepertiku.
            “Tunggu, apa loe bilang? Calon ponakan loe?” Adam bertanya keheranan.
            Buk! “Brengsek loe, Dam! Kurang ajar! Loe udah ngebunuh Nayla dan calon anak loe yang lagi dikandung Nayla! Bego loe!” Buk, buk... Dika memukul pipi Adam begtu keras dengan penuh amarah.
            “Loe jangan bohong, Dik!” Rintih Adam.
            “Nih!” Dika melempar hasil test pack ku tepat di wajah Adam. Seakan tidak percaya, wajah Adam langsung berubah mereda dan menggeleng-gelengkan kepalanya sembari berkata, “Gak mungkin, ini gak mungkin. Nayla! Nayla!”
            “Nayla udah cerita semuanya ke gue. Dia kerja banting tulang jadi kasir dan guide di tempat karaoke demi mencukupi kebutuhannya dan membantu Ibunya di kampung. Dia emang jalan sama Om-Om, tapi dia gak pernah mau ngelakuin hal yang gitu-gitu dengan mereka. Dia udah ngasih keperawanannya buat loe. Dan itu hasilnya.” Tutur Dika menjelaskan semuanya pada Adam. “Sekarang, loe udah ngebunuh Nayla dan calon ponakan gue, yaitu anak loe!”
            “Nayla, bangun Nayla! Bangun! Nayla! Nayla, maafin aku sayang. Aku buta termakan amarah yang membuatku murka hingga kamu yang jadi korbannya. Bangun sayang, bangun! Kita akan menikah secepatnya dan hidup bahagia bersama dengan anak kita kelak sayang, bangun dong Nayla, bangun! Maafin aku, sayang...” Adam menangis histeris, begitu pun juga dengan Dika. Adam menggucang-guncangkan tubuhku, memeluk tubuhku, dan menciumi wajahku dengan air matanya yang berlinang membasahi wajahku, tapi sayang apa yang dia lakukan percuma karena aku sudah tidur sangat lelap sekali.
“NAYLAAAAA!!!
-TAMAT-

(Rahma W. Puspita / 145300059 – C 2014)

Comments

Popular posts from this blog

Saturated

I am not feeling well. Like living in hell. Try to forgot the problems yesterday. But it always comes everyday. Then I choose to go to dine. Hope to get some wine. And I could drunk on a table. Spend bottle after bottle. I thought it will be better. In fact I become a loser. All I did just to kill my boredom. In order to get freedom. (Rahma W. Puspita / 145300059 – 2014 C)

FRIENDZONE.

It was not so long ago when  thought I’d never meet someone like you. Wrong was, I thinking I’m in control. Believing I’d never fall. All my life, I thought no one would melt a heart like mine, a heart so cold, a heart hardened by the past, protected by shields so vast. Slowly I was falling without even knowing. Only to find out too late. I have no choice but to accept my fate. I could dream,  suppose forever, I could hope there will never be any “us”, that’s our destiny, so I wake up to reality. I lied when I said I didn’t love you, that my feelings for you are through. I wouldn’t do a thing to hurt you, but you just have to let me go. I lied not because I wanted you to be my love, but because I love you as my friend.

Panther

My love story was full of tragedy. Until finally you came as my remedy. No matter if my feeling for you is insanity. You will always be my clarity. You make me glow. I do not cover up this feeling always grow. Indeed it appears very slow. But please, let me show. Panther... I am coming for you by flicker. Then I will catch you later. To live together and forever. p.s. : ‘Panther’ is a special name for him.